Sabtu, 09 Maret 2013

CUKUH BALAK ADAT SAIBATIN LAMPUNG SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT LAMPUNG PESISIR BANDAR LIMA – KECAMATAN CUKUH BALAK

I. GEOGRAFIS

Di ujung selatan Sumatera, sepanjang pantainya terjal, diselang-selingi oleh lembah sempit yang dilingkari bukit-bukit, hijau penuh tanaman: cengkeh, dan beraneka pohon buah-buahan. Lautnya tenang bagai kaca, bak talam emas yang digelar bila sore tiba. Bukit-bukit itu nampak biru dari kejauhan. dan di bawah bukit-bukit itu sungai-sungai yang berliku, jernih airnya, subur tanahnya.

Di sanalah sekelompok manusia telah memilih tempat tinggal, hidup dengan anugerah Tuhan yang melimpah, tanah subur dengan musim buah-buah yang silih berganti. Mereka bercocok tanam dan bertani. Pada waktu-waktu senggang menanti panen, ada yang berdagang dan tak sedikit yang menjadi nelayan, memancing dan menjala. Dan Tuhan tak henti-hentinya mengucurkan rezeki; musim buah berganti musim cengkeh, lalu menyusul musim-musim: ikan, siput, rebon, udang dan cumi.

Kampung-kampung itu memanjang dari hilir ke mudik mengikuti lekuk-liku tepi-tepi sungai berlembah sempit, Kumpulan kampung-kampung itu berupa marga dan dari beberapa marga terciptalah satu pemerintahan Kecamatan.

Kecamatan ini telah berdiri sejak zaman Belanda “Kecamatan Cukuhbalak”. Batas-batas wilayahnya:

1. Sebelah barat berbatasan dengan Batubalai/wilayah Kecamatan Kotaagung.

2. Sebelah timur dengan Lengkukai / wilayah Kecamatan Padangcermin.

3. Sebelah selatan dengan lautan Indonesia dan sebuah pulau, Pulau Tabuan yang masih termasuk wilayah Kecamatan Cukuhbalak.

4. Sebelah utara dengan Tanjungsiom batas kecamatan Pardasuka.

Wilayah kecamatan yang merupakan daerah marga ini terdiri dari beberapa kampung. Marga merupakan daerah adat yang dikepalai oleh Kepala Adat yang menguasai beberapa suku adat (sabatin), Sabatin dikepalai oleh Penyimbang Batin yang membawahii beberapa kelompok yang lebih kecil (suku), sedang kampung dikepalai oleh Kepala Kampung selaku pemerintah Republik Indonesia, di bawah Camat.

Dalam wilayah Kecamatan Cukuhbalak terdiri dari lima 5 Marga:

1. Makhga Putih, sebagai ibukota Kecamatan Cukuhbalak terletak di Putihdoh. Marga putih terdiri dari 7 kampung: Putihdoh, Tanjungbetuah, Banjakhmanis, Pampangan, Kacamakhga, Sawangbalak, dan Kakhangbuah.
2. Makhga Pakhtiwi, terdiri dari 10 kampung, yaitu: Sukapadang, Kejadian Lom/Luah, Gedung, Banjakhnegekhi, Sukakhaja, Tanjungkhaja, Tanjungjati, Waikhilau dan Tengokh.
3. Makhga Kelumbayan, terdiri dari 7 kampung: Negekhikhatu, Pekonsusuk, Pekonunggak, Penyandingan, Paku, Napal, Lengkukai.
4. Makhga Badak, hanya terdiri dari satu kampung Badak, karena penduduknya banyak berpindah ke tempat lain (ke Wayawi Kedondong dll).
5. Makhga Limau, terdiri dari 7 kampung, yaitu; Kukhipan, Padangkhatu, Banjakhagung, Tegineneng, Pekonampai, Antakhbekhak, Tanjungsiom.

Jumlah penduduk wilayah ini dalam sensus sampai dengan tahun 1978, sekitar 30155 jiwa, terdiri dari 10288 jiwa laki-laki dewasa, dan 10124 jiwa perempuan dewasa, 4980 anak laki-laki, dan 4699 anak perempuan. Jumlah kampung sebanyak 32 buah membawahi 75 kepala suku yang terdiri dari 5388 kepala keluarga. Agama penduduk asli 100% beragama Islam.

Catatan: Sejak otonomi daerah digalakkan, beberapa marga dikembangkan menjadi Kecamatan, sehingga kini telah berdiri: Kecamatan Kelumbayan, Kecamatan Limau, Kecamatan Pertiwi dan Kecamatan Pulau, dan Kecamatan Cukuhbalak yang beribukota di Putihdoh.
II. SEJARAH

Asal-usul penduduk kecamatan Cukuhbalak serta sejarah berdirinya kampung-kampung di wilayah kebandaran Lima Kecamatan Cukuhbalak adalah diawali oleh menyebarnya para bangsawan dari reruntuhan Kerajaan Besar “Skalabkhak” yang terletak di sekitar Liwa Lampung Utara, terkenal dengan sebutan “Tanohunggak”. Kerajaan Skalabkhak yang besar di Lampung di samping Kerajaan Talangbawang itu belum didapat data yang pasti kapan dan bagaimana lenyapnya. Diperkirakan adalah akibat perluasan Kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Palembang.

Bekas-bekas dan pengaruh kerajaan ini masih sangat berkesan di kalangan penduduk suku Lampung, karena kerajaan ini tidak lenyap begitu saja, melainkan berganti menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berbentuk keratuan (kedatuan) sebagai sumber adat yang masih berlaku sampai sekarang di daerah Lampung.

Keratuan-keratuan yang terkenal antara lain:

1. Keratuan Puncak, ibukotanya sekitar Sangukpatcak di lingkungan ibukota Skalabkhak.

2. Keratuan Pugung, ibukotanya Pugung Mengandung Sukadana, Lampung Tengah, Lampung Selatan, dan sampai daerah-daerah sekitar Tanjungtua.

3. Keratuan Balau, ibokotanya terletak di Gunung Jualang di daerah Timur Kota Tanjungkarang.

4. Keratuan Pemanggilan Keratuan ini ibukotanya di sekitar hilir kota Martapura (sekarang termasuk daerah/wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Keturunannya tersebar di sekitar Sungai Komering (Sumatera Selatan), Krue, Liwa, dan sekitarnya (Lampung Barat), Teluk Semangka (Tenggamus), Telukbetung, Kalianda (Lampung Selatan).

Meskipun keturunannya tersebar dan terpencar-pencar namun mempunyai satu rumpun bahasa yaitu bahasa Lampung Pesisir. sebab itu, ada persamaan antara bahasa Komering dan bahasa Lampung Pesisir utara di Krue dan sekitarnya serta Lampung Pesisir selatan di wilayah Lampung Selatan dan sekitarnya.

Dilihat dari sejarahnya, Cukuhbalak termasuk Keratuan Pemanggilan karena terletak di daerah Teluk Semangka, begitu juga bahasanya memakai bahasa Lampung Pesisir (Lampung Pesesekh).

Dalam Kecamatan Cukuhbalak terdapat lima Kebandaran terkenal dengan sebutan “Pesesekhlima” atau “Bandakhlima” karena kebandaran ini berjumlah Lima dan terletak di pesisir (di pantai lautan), yaitu:

A. MAKHGA PAKHTIWI

Marga Pakhtiwi ini mempunyai 2 kebandakhan, yaitu:

1. Bandakhunggak
2. Bandakhdoh.

Bandakhunggak terdiri dari beberapa sabatin, yaitu: Sukakhaja, Kejadian Lom, Kejadian Luah, Gedung, Sukadana, dan Banjakhnegekhi.

Bandakhdoh terdri dari beberapa sabatin, yaitu: Tanjungjati, Tanjungkhaja, Sukapadang, dan Waykhilau. Kebandakhandoh belum diperoleh data tentang asal-usulnya. Sedangkan kebandakhanunggak berasal dari Tanohunggak Skalabkhak. Yang mula-mula datang ke Pakhtiwi tua-tua mereka ialah Das Dipati, Kabuai Sakha. Kini sudah 12 ketururunan. Sedang yang memegang pemerintahan adat sekarang ini ialah Haji Ahmad Syaikhu gelar Ratu Bakhlian keturunan yang kesebelas.

Keturunan dari Bedas Dipati tersebut sebagia berikut:

1. Bedas Dipati
2. Kesayih
3. Mas Chu
4. Khadin Unang
5. Kakhya Unang Negakha
6. Minak Unang
7. Khaja Pukhba
8. Khaja Nitinegakha
9. Batin Zakaria
10. Kakhya Unang Negkhakha
11. Ratu Bakhlian (H. Ahmad Syaikhu)
12. M.Maulana Muhammad Iqbal

B. MAKHGA PUTIH

Marga Putih, terdiri dua kebandaran yaitu: Kebandaran Putihdoh, dan Kebandaran Putihunggak. Putihdoh terdiri dari 7 sabatin (tiap-tiap sabatin
mempunyai pemerintahan dan hak otonom untuk mengatur kepentingan lingkungan sendiri), yaitu: Sabatin Kedaloman (Bandakh), Pekontengah, Gedung, dan Mandawasa. Sedang Putihunggak terdiri dari Sabatin: Tanjungbetuah, Banjakhmanis, dan Bandakhunggak.

Asal Marga Putihdoh ini ialah keturunan bangsawan Kabuai Mikhadatu, Skalabkhak. Yang mula-mula datang ke Putih ialah 5 saudara, yaitu:

1. Dalom Pamotokh Jagad menurunkan Pangeran Sultan Makhga selaku Kepala Adat Kebandakhan Putih.
2. Minak Sinahu menurunkan Panyimbang Suku (Luah Lawang).
3. Khaja Singganung menurunkan Raja Mangku Bandakh.
4. Tapak Gubang menurunkan Bintang Padoman
5. Tedung Pambosokh menurunkan Minak Bangsawan.

Ketika lima saudara ini tiba di Putih dan berdiam beberapa lamanya, seorang dari mereka ialah “Dalom Pamotokh Jagad” yang terkenal dengan panggilan Lanang Akuan meninggalkan Putih menuju Kalianda guna mencari tempat yang lebih baik. Konon Lanang Akuan ini mempunyai keberanian dan kesaktian yang melebihi saudara-saudaranya yang lain. Dapat diperkirakan kesaktian mereka itu menurut riwayat bahwa “Minak Sinahu” keturunan Luah Lawang dapat menyeberang ke Pulau Tabuan hanya dengan selembar kain putih separo diduduki dan separo lagi sebagai layar dengan rasa yakin yang mendalam mengucap “Basmalah”.

Maka ketika kampung Putih yang masih sepi ini diserang oleh bajak-bajak laut (bajau), sehingga ada sebahagian penduduk menghindari bajau ini dengan berpindah ke pedalaman lebih jauh dari pantai, maka jadilah kampung-kampung Tanjungbetuah, Banjakhmanis, dan lain-lain. Berkali-berkali bajak laut itu menyerang dan merampas harta-harta penduduk di sepanjang pantai-pantai yang masih berpenduduk sepi itu.

Bajak-bajak itu diperkirakan bersamaan dengan datangnya Belanda ke Indonesia sekitar tahun 1682, karena pada watu itu banyak perampok (perompak) sebagai bajak laut atau lanum yaitu anak buah Sultan Iskandar, tapi dihancurkan oleh Belanda Tahun 1704. Mungkin juga adalah suku Raas yakni pelaut-pelaut dari kepulauan Mentawai, atau suku Bugis dari Sulawesi.

Karena serangan-serangan bajak laut yang berkali-kali itu maka 4 saudara yang masih tinggal di Putih bersepakat untuk memanggil Dalom Pamotokh Jagat atau Lanang Akuan yang berada di Kalianda untuk kembali ke Putih guna mempertahankan serangan dari para bajau itu.

Mereka juga sepakat untuk mengangkat Dalom Pamotokh Jagad atau Lanang Akuan untuk menjadi pimpinan adat (Kepala Adat) di Kebandakhan Putih. Dia setelah dibujuk, datang ke Putih dengan membawa pedang terhunus sedang sarung pedang itu masih ditinggal di Kalianda. Hal ini konon, yang membuktikan adanya persamaan sejarah antara keturunan Pamotokh Jagad di Kalianda dan di Putih.

Kesepakatan 4 saudara Pamotokh Jagad beserta keputusan sidang makhga oleh beberapa sabatin di lingkungan Kebandakhan Putih untuk mengangkatnya sebagai kepala adat, setelah ia dapat mengalahkan bajau-bajau itu tidaklah disambutnya dengan serta merta, melainkan ia merasa keberatan. Alasannya bahwa dalam pemerintahan itu memerlukan beberapa persyaratan yang belum ia miliki, yaitu: rumah, harta, dan isteri. Keempat saudaranya itu menyanggupi untuk memenuhi kebutuhannya itu, maka ia menetaplah di Putih sebagai Kepala Adat Kebandakhan Putih yang membawahi beberapa sabatin.

1. Sabatin Kedaloman Bandakh

Keturunan Pamotokh Jagad mempunyai kekuatan ke dalam, dalam pemerintahan lingkungan sendiri yang disebut “Sabatin Kedaloman Bandakh.” Sedang kekuatan pemerintahan keluar, kekuasaan memerintah (menguasai) seluruh kesabatinan di lingkungan Kebandakhan Putih.

Sampai dengan ditulisnya “Tulisan” ini pemegang pemerintahan Bandakh ialah Haji Bokhori Gelar Pangeran Sultan Makhga, yaitu deperkirakan keturunan (generasi) ke-12.
Keturunan Kedaloman Bandakh Keturunan Pamotokh Jagad pada gnerasi ke 2 – 4 tidak terdapat, dan untuk selanjutnya keturunan, 5 – 11 sbb:

1. Dalom Pamotokh Jagat
2. –
3. –
4. –
5. Kakhya Singadeda
6. Kakhya Singadega
7. Antowijaya
8. Kakhya Bangsakhatu
9. Batin Jayakrama
10. Pangikhan Syah Bandakh
11. Pangikhan Sultan Makhga

Keturunan Minak Sinahu (Luah Lawang)

1. Minak Sinahu
2. Raja Pangulihan Tuha
3. Kakhuhun
4. Raja Pangulihan Muda
5. Bangsa Alam
6. Minak Lanang
7. Minak Pukhba (H.A. Khauf)
8. K.H. M Yusuf
9. H. Abd. Mu’in
10. Khaja Pangulihan III
11. Khaja Simbangan

Anggota marga yang masih dalam naungan Kebandakhan Putih ini tersebar di Waylima, Pulau Tabuan dll.

Dalam pemerintahan adat ini terdapat pembagian kedudukan, fungsi dan tugas masing-masing. Sebatin Kedaloman Bandakh terdiri dari:

Suku dillom (dalam Istana)

1. Khaja Indra (Dahlan)
2. Khaja Mangkuta Alam (H. Mahmud)
3. Khadin Jaga Mulia
4. Khaja Inti Kesuma
5. Khaja Nukhsiwan (H. Rahim)

Suku Kiri

1. Khaja Simbangan (H. Makmun)

Suku Kanan

1. Khaja Mangku Bandakh (Yunus)
2. Khaja Kemala (M. Rasyid)
3. Khadin Setia (H. Muslim)

2. Sabatin Gedung

Keturunan dari penyimbang Batin Gedung ini berasal dari Lemasa Kepampang atau Tanohunggak, Skalabkhak, yaitu dari Kabuai Samenguk Tamba Kukha. Kesebatinan Gedung ini diperkirakan sejak tua-tuanya lebih dari dulu dari keturunan Kedaloman, tapi menurut keterangan dari kepala Penyimbang Batin Gedung ini baru 9 (sembilan keturunan), hal ini boleh jadi karena hitungan generasi (keturunan antara satu dengan yang lainnya) tidak sama.

Susunan Pemerintahan Adat Sabatin Gedung:

1. Kepala Panyimbang Batin: Dalom Pangikhan (H. Abu amin)
2. Suku Kiri: Khaja Kesuma (H. Zaenuddin)
3. Suku Kanan: Khaja Mangku Alam (H. Abd. Mutthalib)

3. Sabatin Pekontengah

Asal usul kesabatinan Pekontengah ini sama dengan keturunan Gedung, yaitu Kabuai Samenguk Tamba Kukha, Tanohunggak atau Skalabkhak. Sebelum sampai di Putih terlebih dahulu mampir di Sanggi (Kepaksian Sanggi Kotaagung). Yang mula-mula datang ke Putih ialah Khaja Samak dan isterinya beserta beberapa punggawa lainnya. Diperkirakan sudah 9 keturunan, sedang Pemangku jabatan “Penyimbang Batin Pekontengah sekarang ini, ialah Haji Djamauddin gelar Dalom Bangsa Khatu.”

Susunan Pemerintahan Adat Sabatin Pekontengah :

1. Kepala Panyimbang Batin: Dalom Bangsa Khatu. (H. Jamauddin)
2. Suku Kiri: Khaja Setia (Pulau Kakhangbuah), Khaja Bangsa Saka (Pulau Kakhangbuah).
3. Suku Kanan: Khaja Sepulah (H. Marzuki), Khaja Simbangan (Khuzairin)

4. Sabatin Mandawasa

Kesabatinan Mandawasa baru berdiri sekitar dua keturunan yang resmi diangkat oleh Pangikhan Bandakh. Asal usulnya tidak diperoleh data yang pasti, kemungkinan besar adalah pecahan dari Bandakh. Sabatin pertama ialah Batin Mangunangan (Haji Bashri) dan Pejabat sabatin sekarang ini ialah Batin Junjungan (Haji Damanhuri).

Susunan Pemerintahan Adat Sabatin Mandawasa :

1. Kepala Panyimbang Batin: Batin Junjungan
2. Suku Kiri: Khadin Sampukhna Jaya (Saleh)
3. Suku Kanan: Khadin Bangsa Khaja (Tirmizi)
5. Sabatin Tanjungbatuah

Asal keturunannya adalah Muakha Tanumbang Skalabkhak, Kabuai Semenguk Mikhadatu sama dengan keturunan Sabatin Kedaloman Bandakh. Yang mula-mula datang ke Putih (Tanjung Betuah) ialah 3 saudara:

1. Khaja Ngaliang Jaman menurunkan Pangikhan Pakhdasuka (Kecamatan Pakhdasuka), yaitu terletak sekitar 35 km dari Putih.

2. Makhgi Kesuma yaitu menurunkan Khaja Paksi (M. Syarifuddin) Tanjungbetuah.

3. Sang Liwat Agung, menurunkan Dalom Niti Negakha Kepala Adat Panyimbang Batin Tanjungbetuah. Sang Liwat Agung pergi ke kajenong (Jenong = Nama), untuk untuk memohon pengangkatan nama dari Kesultanan Banten. Dalam perjanjian dengan ketiga saudara di atas tidak bisa dibentuk sabatin Tanjungbetuah lain jika masih dalam satu kampung. Keluarga besar Sabatin Tanjungbetuah ini tersebar di WayLima, Pardasuka dan Gisting.

Seseorang yang termasuk keluarga Bangsawan dari Sabatin Tanjungbetuah ini bernama Tenggekh Dalom pergi ke mudik sekitar 2 kilo meter dari Tanjungbetuah, maka ia mendirikan satu kampung Banjakhmanis dan terciptalah satu Sabatin lagi yaitu Sabatin Banjakhmanis. Sedang sebelumnya terlebih dahulu berdiri Bandakh unggak di kampung Pampangan sekitar 6 km ke ulu dari Putihdoh.

Dikabarkan Bandakhunggak adalah juga berasal dari keturunan Sabatin Tanjungbetuah ini. Tapi karena akibat perpindah-pindahan penduduk maka Bandakhunggak sekarang hanya terdengar namanya, tinggal bekasnya saja, sedang pemerintahannya tidak ada. Perpindah-perpindahan penduduk Bandakhunggak konon ada yang ke Waylima dan mendirikan kampung dengan nama asalnya yaitu Pampangan, yang kini masuk Kecamatan Waylima-Kedondong.

Perkembangan Sabatin Tanjungbetuah ini makin lama tidak semakin maju (luas) melainkan semakin mundur dan menyempit. karena sebab-sebab antara lain:

1. Serangan-serangan bajau (bajak laut) yang senantiasa datang, tidak bisa di tangkap, menyebabkan berpindahnya penduduk ke mudik yang lebih jauh dari pantai.

2. Adanya suatu pembunuhan dari warga Tanjungbetuah bernama Anto Wijaya terhadap seorang penduduk kampung Putihdoh, yang dijatuhi hukuman diyat (denda atau ganti rugi), yaitu berupa tanah (sawah) milik warga Tanjungbetuah kepada keluarga yang dibunuh.

3. Tidak adanya pembinaan yang mantap terhadap anak buah sehingga banyak keturunan dari Sabatin ini yang berpindah Sabatin.

4. Adanya peraturan (perjanjian) yang tidak membolehkan berdirinya sabatin lain jika masih dalam satu kampung.

5. Perpindahan-pindahan penduduk karena adanya bajau dan meletusnya Gunung Krakatau sekitar tahun 1888, sehingga laut melonjak ke darat dan mengakibatkan abu tebal yang menghambat tumbuhnya tanaman pada beberapa tahun lamanya.

Perpindah-perpindahan itu antara lain: ke Tanjungkakhta, Kububatu, Tanjungrusia, Waykepayang, Pampangan, Waylayap (Kecamatan Waylima-Kedondong),Gisting, Kotadalom (Kecamatan Talang Padang).

Diperkirakan keturunan Sabatin Tanjungbetuah ini sekitar 12 s/d 13 keturunan. Sedang Sabatin Banjarmanis tidak diperoleh keterangan secara mendetail, hanya menurut keterangan Kepala Panyimbang Batin Tanjungbetuah adalah pecahan dari Tanjungbetuah. Namun sebahagian dari penduduk Banjakhmanis ini masih ikut Sabatin Gedung Putihdoh.

Susunan Pemerintahan Adat Sabatin Tanjungbetuah :

1. Kepala Panyimbang Batin: Dalom Nitinegara (Zubaidi)
2. Suku Kiri: Raja Wijaya (Masuni)
3. Suku Kanan: Raja Paksi A. Syarifuddin)

Keturunan Sabatin Tanjungbetuah sekarang ini tidak diperoleh keterangan yang pasti karena alasan catatan hilang, dikatakan sudah 28 keturunan, tapi keterangan ini meragukan karena kedatangan para bangsawan pendahulu itu ke Putih hampir bersamaan waktunya. Menurut keterangan dari Margi Kesuma keturunan yang ke-2, terdapat catatan dengan tulisan Lampung sebagai berikut:

1. Makhgi Kesuma
2. Adipati Sungsang Khuma
3. Ki Agung
4. Panengon Tanda Nenga
5. Khadin Makhgi
6. Kimmas Tanda Negakha
7. Khaya Besakh
8. Khadin Kutanegakha
9. Khadin Besakh
10. H. M. Said
11. Khaja Singadipati
12. Khaja Kusuma
13. Khaja Paksi

Maka diperkirakan keturunan Sabatin Tanjungbetuah ini sekitar 12 -13 generasi.

C. MAKHGA BADAK

Asal mula keturunan Makhga Badak ini ialah Tanohunggak, Skalabkhak, dari Kabuai SINDI Krue Utara (Olokpandan).

Tua-tua mereka mempunyai 2 saudara:

1. Yang tua Buai Bintang di Krue Lampung Utara.

2. Yang muda Buai Tengklek pergi ke daerah Teluk Semangka yaitu ada 3 saudara:
- Khaja di Bandakh (Badak)
- Batin Pankgikhan di Way Awi (Kecamatan Waylima Kedondong)
- Panjukhit Agung di Tanjung Agung (Way Awi).

Karena para bangsawan ini sifatnya mencari tempat yang baik dan luas untuk masa depan anak keturunannya, maka kampung Badak yang dianggap kurang memenuhi syarat lagi sempit itu ditinggalkan oleh sebagian besar penududuknya. Perpindahan itu berjalan sejak satu sampai dua abad yang lalu. Di rentang masa selama itu menyebabkan anak keturunan yang berada di tempat yang lebih maju seakan-akan tiada mengakui asal-muasal mereka dari Kebandakhan Badak.

Faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan itu selain karena tanahnya sempit juga karena terjadi peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang menyebabkan terjadinya tsunami, air laut pasang naik ke darat. Beberapa tahun juga abu tebal masih menyelimuti tanah, yang akibatnya tidak bisa ditanami.

Perpindahan-perpindahan secara spontan juga masih terjadi, karena akibat sukarnya hubungan transportasi ke kota. Memang bertahun-tahun sebelum Orde Baru, belum ada akses jalan darat, yang mungkin kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Wilayah Makhga Badak yang berkembang menjadi beberapa Sabatin itu terletak di lain kecamatan di antaranya di Kecamatan Kedondong dan Waylima.

Sudah berapa keturunan Makhga ini, belumlah dapat diketahui secara pasti, namun menurut catatan dalam permintaan tanah kepada Jonjom diperoleh secara beli adalah pada tahun: sapeku pak likokh (atau pada tahun 1024). Agaknya keterangan ini meragukan karena berdirinya pemerintahan Sultan Hasanuddin sekitar abad ke 16 (enam belas = 1527). Namun dari sudut arti Badak berarti tua (Balak) karena tanahnya tua.

Pemerintahan Adat Makhga Badak menyebar ke pedalaman menjauhi pantai dan mendirikan pemerintahan adat sediri, di antaranya:

1. Batin Pangikhan di Pekondoh Wayawi
2. Dalom… Tanjungagung, Wayawi
3. Batin Paksi Wayawi
4. Batin Singa Makhga, Gedung Dalom Awayawi
5. Batin Panji Pekondoh, Wayawi
6. Batin Kemala Tanjungkhaja Wayawi

D. MAKHGA LIMAU

Asal Makhga Limau adalah Lamasa Kapampang, Skalabkhak. Perjalanan ke Limau melalui Krue, Waykanan, Waykhatai. Yang mula-mula datang ke Limau adalah Pangikhan Khaja Bungsu Sakti Dewa. Ia mempunyai 2 saudara, yaitu:

1. Pangikhan Kakhai Handak di Bengkulu (Propinsi Bengkulu)

2. Pangikhan Si Agul-Agul Pugungtampak (Krue Utara).

Keturunan Pangikhan Khaja Bungsu Sakti Dewa ini sampai sekarang sudah 12 genarasi. Karena book (catatan sejarahnya) terbakar dalam peristiwa kebakaran dua kali, maka yang sempat diingat hanya 7 keturunan, yaitu:

1. Pangikhan Khaja Bungsu Sakti Dewa
2. Lansak Batu.
3. Tambak Bata/Waykhatai
4. Dipati Anom
5. KHaja Paksi
6. Pangikhan Bandakhnegakha
7. Sultan Pangikhan Adat (Bunyana).

Kebandakhan ini terdiri dari 4 Panyimbang Batin, Kiri: Gununghaji, Tegineneng dan kanan Padangmanis, Sukanegekhi.

E. MAKHGA KELUMBAYAN

MaKHga Kelumbayan terdiri dari beberapa sabatin antara lain: Negekhi Kelumbayan dan Panyandingan. Keturunan negekhi Kelumbayan belum diperoleh keterangan, sedang keturunan dari Sabatin Panyandingan ialah: Kabuai Gagili, Skalabkhak, termasuk Marga Balau. Mereka mulanya datang ke Padada (Umbulan Pagokh), kemudian ke Napal. Setelah itu ke Kelumbayan. Yang mula-mula datang ialah: Tuan Khaja Akuan dan Khadin Pamuka. Sampai sekarang sudah 8 generasi, yaitu:

1. Khaja Ngukhi Ali
2. Kakhya Raksa Jaya
3. Khaja Timur (Batin Pamuka)
4. M. Ali
5. Kakhya Laksamana
6. Batin Khaja Intan
7. Pangikhan Jaya Sampurna (H. Azhari)
8. Pangeran Pimpinan Makhga (Tamrin).

III. PERPINDAHAN (HIJRAH)

Menurut data yang penulis kumpulkan bahwa kebanyakan penduduk Kebandakhanlima Cukuhbalak telah berpindah ke beberapa daerah yang kini telah berkembang menjadi beberapa kecamatan. Perpindahan itu membawa nama kampung dan juga membawa peraturan adat, bahkan di antaranya ada yang masih tunduk pada pemerintahan adat Kebandakahnlima. Bukti-bukti perpindahan itu antara lain:

1. Adanya nama-nama kampung yang sama dengan daerah asalnya, misalnya: Wayawi, di Banjar Manis – Wayawi di Kedondong.

2. Pampangan di Putih – Pampangan di Waylima.

3. Banjakhnegekhi di Pakhtiwi, di Limau dan Banjakhnegekhi di Waylima.

4. Pardasuka di Putihdoh – dan Pardasuka di Kecamatan Pardasuka,

Sekarang Pardasuka di Putih itu hanya tinggal bekasnya saja yaitu sudah menjadi hutan dan tanaman keras, karena penduduknya habis berpindah. Sejak dua dasawarsa terakhir di tempat ini telah didirikan SMP Negeri dan PLN serta mulai banyak didirikan pemukiman penduduk.

Sebab-sebab perpindahan antara lain:

1. Meletusnya Gunung Krakatau, yang mengakibatkan melonjaknya air laut ke darat (tsunami) dan abu tebal masih menyelimuti tanah pertanian, sawah, sehingga beberapa lama tak bisa ditanami.

2. Situasi tanah pertanian yang tidak memenuhi kebutuhan penduduk, terutama tanah pesawahan, karena daerah ini berbukit-bukit.

3. Perhatian Pemerintah yang kurang, terutama terhadap pembangunan perhubungan (transportasi) jalan darat yang tidak bisa dilalui kendaraan, begitu juga komunikasi dan sarana pendidikkan, sehingga banyak di antara penduduk yang berpindah ke daerah-daerah dekat jalan raya.

4. Perpindahan juga terjadi karena perkawinan, sekolah, menjadi pegawai dll.

KHEJI DA CEKHITA NE SIKAM SA

Semasa Lampung termasuk kekuasaan Banten, Kejonjoman Semangka berpusat di Burnai Tanjung Beringin, diperintah seorang jonjom (wakil Sultan Banten), dan terbagi ke dalam empat paksi dan dua belas bandar. Empat paksi (Paksi Pak) itu adalah Paksi Benawang di Negeri Ratu, Paksi Belunguh di Kagungan, Paksi Ngarip di Padang Ratu, dan Paksi Way Nipah di Pematang Sawah. Hal ini sesuai dengan empat paksi nenek-moyang di Sekalaberak: Ratu Tundunan, Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, dan Ratu Bejalan di Way. Adapun dua belas bandar (Bandar Ruwa Belas) terdiri dari Kelumbayan, Pertiwi, Putih, Badak, Limau, Batu Regak, Buai Nyata, Kelungu, Talagening, Pekon Balak, Sanggi, dan Rajabasa.

Setelah Lampung dikuasai Belanda, kejonjoman Semangka diubah menjadi Onderafdeling Semangka, yang dibagi menjadi delapan marga: Kelumbayan, Pertiwi, Putih, Limau, Benawang, Belunguh, Ngarip, dan Pematang Sawah.

Daerah Cukuh Balak (marga Kelumbayan, Pertiwi, Putih dan Limau) di pantai selatan Lampung sangat sedikit memiliki lahan pertanian karena merupakan daerah pesisir. Hal ini menyebabkan banyak penduduk mencari daerah baru yang jauh dari pantai. Daerah Talangpadang dan Waylima merupakan contoh daerah baru tersebut. Di kedua daerah ini sampai sekarang masih terdengar istilah Selimau, Seputih, Sepertiwi, dsb, untuk mengingatkan mereka pada daerah asal.

Perpindahan besar-besaran penduduk Limau ke daerah Talangpadang dipacu oleh dua hal. Pertama, pembukaan Jalan Raya Pos (Postweg) oleh pemerintah Hindia-Belanda pada pertengahan abad ke-19, yang menghubungkan Teluk Betung dan Kota Agung, sangat menarik minat masyarakat untuk mendirikan pekon di tepi jalan raya. Kedua, meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883 (labung hambua, “hujan abu”) menyebabkan sebagian penduduk marga Limau ingin mencari daerah pemukiman baru, sebab tanah pertanian mereka rusak oleh abu gunung berapi.

Perpindahan dari Limau dipelopori oleh masyarakat pekon Padang Manis dan pekon Atar Berak. Orang-orang dari Padang Manis mula-mula membuka pekon Way Tebu, kemudian membuka pekon Talangpadang dan Banjarnegeri, sedangkan orang-orang dari Atar Berak mula-mula membuka pekon Penanggungan, kemudian membuka pekon Kedaloman dan Sukabanjar. Sesudah itu datang masyarakat Gunung Haji membuka pekon Bandingagung dan Kejayaan. Lalu menyusul pula masyarakat Pekon Ampai membuka pekon Sukaraja. Semua yang disebutkan di atas berasal dari marga Limau. Kemudian datang masyarakat dari marga Pertiwi membuka pekon Sukabumi, dan masyarakat dari marga Putih membuka pekon Kutadalom. Lalu datang pula orang-orang dari Kotaagung membuka pekon Banjarmanis.

Maka pada Kamis 1 Juni 1933 (7 Safar 1352 H), berdirilah Marga Gunung Alip, dengan dua penyimbang marga: Pangeran Raja Hukum dari Talangpadang dan Dalom Ya Sangun Ratu dari Kedaloman.

Dua belas penyimbang pokok dalam Marga Gunung Alip adalah:
Pangeran Raja Hukum (Talangpadang);
Batin Paksi Negara (Bandingagung);
Raja Purba (Sukabumi);
Radin Gomontor (Kejayaan);
Batin Raja Intan (Sukabanjar-Pariaman);
Batin Sempurna Jaya (Sukabanjar-Tanjungharapan);
Batin Jaya Krama (Sukabanjar-Seriagung);
Dalom Ya Sangun Ratu (Kedaloman);
Batin Pangeran (Sukaraja);
Batin Mangku Negara (Banjarnegeri-Seriagung);
Batin Mengunang (Banjarnegeri-Cahyanegeri);
Raja Pemuka (Banjarnegeri-Tanjungraja).

Sesuai dengan perkembangan zaman, dalam Marga Gunung Alip sekarang terdapat empat kebandaran: Talangpadang, Kedaloman, Bandingagung, Negeriagung. Masing-masing kebandaran membawahi penyimbang-penyimbang pekon atau sebatin-sebatin. Meski pun pada mulanya penyimbang pokok cuma dua belas, sekarang ini terdapat cukup banyak penyimbang, sebab banyak jaru suku yang melakukan promosi (angkat nama) menjadi sebatin-sebatin baru.

Kebandaran Kedaloman (Atar Berak)
Kebandaran Atar Berak dengan penyimbang Pangeran Bandar Marga yang berkedudukan di Rajabasa, Kedaloman, membawahi sebelas kesebatinan:
Tanjungharapan: Batin Kesuma Ningrat;
Padangdalom: Batin Raja Utama;
Seriagung: Batin Dahulu Ratu;
Sukamarga: Batin Jaya Utama;
Padarincang: Batin Raja Syah;
Mirakbatin: Batin Surya Diningrat;
Negeriratu: Batin Mangku Desa;
Pariaman: Batin Raja Nursiwan;
Banyuasin: Raja Penyimbang;
Padangratu: Raja Nirwana;
Pelitajaya: Batin Pemuka.

Silsilah Pokok Kebandaran Atar Berak
Pejor Alam, di pekon Atar-Berak, Limau, yang hidup pada abad ke-17, memunyai tiga orang putra: Ngabihi (menurunkan keluarga Rajabasa), Ngagebat (keluarga Tanjungharapan), dan Nyawadi (keluarga Pariaman dan Mirakbatin).
Ngabihi berputra Radin Mas Tangga, berputra Radin Suryadilaga, berputra Raja Isunan (Sebatin Atar Berak), berputra Raja Besar Alip, berputra Bandar Alam, berputra Dalom Ya Sangun Ratu (Bandar Kedaloman), berputra Su’ud Pangeran Pokok Adat, berputra Efendi Pangeran Bandar Marga.
Ngagebat (Jayaguda) berputra Ki Gede Agung (Imam Penata Gama), berputra Gimbar Batin, berputra Radin Pusirah Derajatun (Suku Kanan Atar Berak), berputra Haji Muhammad Rais Radin Taji Marga, berputra Haji Sulaiman Radin Simbangan, berputra Muhammad Adnan Radin Besar kemudian bergelar Batin Sempurna Jaya (Sebatin Tanjungharapan), berputra Masyuni Batin Indera Kesuma, berputra Irfan Anshory Batin Kesuma Ningrat.
Nyawadi berputra Tanjar Muda, berputra Penyana, berputra Minak Paduka (Suku Kiri Atar Berak), berputra Muhammad Yasin, berputra Abdul Muin, berputra Minak Sengaji kemudian bergelar Batin Raja Intan (Sebatin Pariaman), berputra Yasin Batin Raja Nursiwan, berputra Syamsul Arifin Batin Putera Jaya.
Catatan: enam generasi terdahulu masih berdiam di daerah Limau (Cukuh Balak), tiga generasi terakhir sudah mendiami daerah Gunung Alip sekarang.

Silsilah Keluarga Tanjung Harapan
Penyimbang di turunan
Tutukan anjak saka
Radu papira jaman
Raja mak kilu bangsa

Ngagebat, putra kedua Pejor Alam (adiknya Ngabihi), ketika pemuda merantau ke Banten, siba (menghadap sultan) dan kajenong (meminta gelar) sambil memperdalam ilmu. Ngagebat mengarang adi-adi ketika pergi: keris ruwa nyak kodo, ki haga siba banton, hilang nyawa nyak kodo, ampai dipangka temon.

Pada masa itu Sultan Banten Abdul Fatah sedang berperang melawan Belanda. Ngagebat pun ikut berjuang. Menurut cerita, Ngagebat pulang dari medan perang, menghadap Sultan di istana sambil membawa telinga sekeranjang (cuping sanga kecandang), pertanda dia berhasil membunuh tentara Belanda sebanyak telinga yang dibawanya. (Induh temon api mawat, ana gelarni cerita!). Sultan Banten merasa kagum akan kehebatan meranai Lampung ini dan memberinya gelar Jayaguda, sering disingkat Jaguda.

Setelah cukup memperdalam ilmu, baik ilmu pendekar maupun ilmu agama, Ngagebat (Jaguda) kembali ke Atar Berak. Setelah Jaguda wafat, kuburannya dikeramatkan orang dan disebut “Keramat Atar Berak”. Di kompleks makam itu, di pekon tuha Atar Berak, Limau, sampai sekarang masih ada “kursi batu” peninggalan Jaguda.

Ngagebat (Jaguda) terlalu lama membujang dan baru menikah sewaktu usianya lanjut. Dengan istrinya, Gusti Puyang, Ngagebat cuma berputra satu, yang diberi nama berbau Banten, yaitu Ki Gede Agung. Namun anak yang seorang ini benar-benar mewarisi ilmu ayahnya dalam hal agama, sehingga di masa tuanya dia memeroleh gelar Imam Penata Gama.

Imam Penata Gama (Ki Gede Agung) beristrikan Galuh Ratu, dan dikurniai Allah tujuh putra laki-laki. Yang seorang meninggal di masa remaja, sehingga hanya enam orang yang mengembangkan keturunan, yaitu:
1) Gimbar Batin, berputra Radin Pusirah Derajatun—Muhammad Rais—Sulaiman—Muhammad Adnan—Masyuni dan Masrohan—Irfan Anshory.
2) Niti Bangsa, berputra Gagul Jaya—Mas Pecalang—Abdur Rani—Sarbini—Iryatun—Wawan.
3) Jalang Kecacah, berputra Jimpang Batin—Muhibat dan Masibah—Abdulhamid—Sawiah—Fathullah.
4) Anggu Mas, berputra Ayuminah—Saibah—Marsudin—Syamsu—Indra.
5) Ranggau Jaya, berputra Rayi Siyah—Ramik Mas—Cinta Batin—Ja’far—Idris.
6) Mirak Sekudi, berputra Jamil—Jamari—Muhammad Amin—Absani.

Yang disebutkan di sini hanyalah keturunan lurus ke bawah. Masing-masing nama di atas tentu memunyai banyak saudara kandung (kakak dan adik) yang juga beranak-cucu, sehingga mencakup seluruh keluarga besar Tanjungharapan sekarang.

Tujuh Jenjang Adok (Gelar) Lampung Peminggir

PANDIA PAKUSARA
(1) Batin — Batin
Raja – Radin
(2) Radin – Minak
(3) Minak – Enton
(4) Kimas (Tihang, Lidah) – Adi (Mas)
(5) Mas (Bangsa, Jaga) – Sinang (Cahya)

PUNGGAWA
(6) Layang – Anggin
Muda – Anggin
Pemuka – Anggin
Purba – Anggin
Niti – Anggin
Rayat – Anggin
Jimpang – Anggin
Kuta – Anggin
Pagar – Anggin
Kunci – Anggin

(7) Bunga – Rayi
Morep – Rayi
Jimat – Rayi
Baris – Rayi
Ramik – Rayi
Tanjar – Rayi
Munggah – Rayi
Ulas – Rayi
Bebas – Rayi
Linggang – Rayi

SENGGAYA ADOK RAGAH
Adipati, Agung, Alam, Alip, Andalan, Bahasa, Bakti, Bangsa, Bangsawan, Batin, Bebas, Bendara, Berlian, Besar, Bintara, Buai, Buana, Budiman, Bujangga, Bumi, Cahya, Dalom, Darma, Darmala, Demang, Dermawan, Desa, Dilaga, Diwa, Gama, Gomontor, Gumuruh, Haluan, Hirang, Hukum, Hulubalang, Imba, Indera, Intan, Isunan, Jaga, Jaksa, Jaya, Jiwa, Kalipah, Kanggu, Kapitan, Kecacah, Kelana, Kemala, Kesuma, Kerama, Kunci, Laksamana, Liyu, Mandala, Malila, Mangku, Mangkuta, Marga, Mas, Menanti, Mengunang, Mincar, Muda, Mulia, Murip, Negara, Negeri, Ngasisa, Ningrat, Nirwana, Niti, Nurjati, Nursiwan, Nyinang, Padoman, Paduka, Panglima, Panji, Paksi, Paku, Pastiti, Patih, Pecalang, Pejor, Pelita, Pemuka, Penata, Pendita, Pengiman, Pengiran, Penyimbang, Perbasa, Perdana, Perwira, Punggawa, Purba, Purnama, Pusaka, Pusiban, Pusirah, Putera, Raja, Rajasa, Ratu, Rusia, Sabungan, Sangkiman, Sangun, Santeri, Sari, Sarih, Sebuai, Sehari, Sejati, Sekudi, Selaka, Selinggang, Semberani, Sempurna, Senanti, Senapati, Sengaji, Seniti, Senimbang, Sentika, Sepulah, Seruni, Setia, Setiawan, Simbangan, Singa, Suara, Suhunan, Suku, Suntan, Surya, Syah, Taji, Tangga, Tinggi, Tumenggung, Ulangan, Unjunan, Utama, Wijaya, Wira, Ya, Yuda.

SENGGAYA ADOK BEBAI
Akuan, Angguan, Anggin, Ayu, Bahagia, Basiyah, Berlian, Buai, Buana, Cahya, Cempaka, Cendana, Dalom, Delima, Dengian, Dian, Enton, Galuh, Hariya, Indah, Jamanton, Jamidah, Jamilah, Jaminah, Jasimah, Jasiyah, Jumami, Juwita, Kamilah, Kasijah, Kasimah, Kasiyah, Kekunang, Kencana, Kesuma, Kumbang, Lamidah, Laminah, Lamisah, Lamiya, Linggam, Liyah, Luwih, Malati, Malila, Maliyah, Mantiara, Marga, Mas, Masibah, Masidah, Masijah, Masinah, Masiyah, Midah, Minah, Misah, Mustika, Nerang, Nirmala, Nurcahya, Permata, Rayi, Riya, Sakinah, Samidah, Samijah, Saminah, Samiyah, Saniyah, Salijah, Saliyah, Satibah, Satijah, Satiyah, Selaka, Sari, Siar, Sibah, Sidah, Sijah, Simah, Sinah, Sinang, Sirian, Siti, Siyah, Sugihan, Tindayan, Ulihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar